Tradisianime.com – Bayangkan kota yang tak pernah tidur, lampu neon bersinar di antara gedung pencakar langit, dan kemacetan jadi bagian dari rutinitas. Tapi di balik hiruk-pikuk Manila yang modern, makhluk-makhluk dari mitologi kuno Filipina masih berkeliaran, menyatu dalam bayang-bayang malam. Inilah dunia dari “Trese”, seri horor urban supernatural yang menyatukan folklor lokal, nuansa noir, dan kritik sosial dalam satu paket menggigit.
Diangkat dari komik populer karya Budjette Tan dan Kajo Baldisimo, dan diadaptasi oleh Netflix sebagai seri animasi gelap dan stylish, Trese bukan sekadar cerita detektif.
Alexandra Trese: Detektif Paranormal di Era Modern
Pusat dari semesta ini adalah Alexandra Trese, seorang perempuan muda kuat dan penuh teka-teki, yang menjalankan tugas turun-temurun sebagai penjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia roh. Ia bukan polisi, bukan penyihir, bukan eksorsis biasa. Ia adalah “babaylan-mandirigma”, warisan kuno yang memadukan pengetahuan spiritual dan kemampuan bertarung.

Dengan dua kembar iblis, Crispin dan Basilio, sebagai pengawal setianya, Alexandra menyelidiki kasus-kasus ganjil: pembunuhan yang melibatkan tikbalang (makhluk setengah kuda), misteri anak hilang yang ternyata diculik oleh aswang (pemakan daging manusia), hingga sindikat kriminal yang ternyata dijalankan oleh makhluk gaib.
Di sinilah Trese menjadi unik. Ia menggabungkan struktur cerita detektif noir dengan horor mitologis khas Asia Tenggara, dan menghadirkannya dalam latar urban yang penuh kontras.
Mitos yang Dihidupkan, Bukan Dimodifikasi
Berbeda dengan banyak cerita modern yang hanya mengambil inspirasi dari mitologi sebagai tempelan, Trese memperlakukan mitos Filipina dengan rasa hormat dan relevansi kontemporer. Aswang bukan lagi sekadar monster. Mereka adalah kelompok pinggiran yang termarjinalkan oleh pembangunan kota dan korupsi. Tikbalang bukan sekadar legenda hutan, tapi makhluk yang mencoba beradaptasi di dunia modern. Trese mengajukan pertanyaan tajam: ketika manusia melupakan akar dan leluhur, siapa yang menjaga batas antara dunia nyata dan dunia gaib?
Kota yang Menyimpan Dosa
Manila dalam Trese bukan kota yang glamor. Ia kotor, rusuh, dan sarat korupsi. Polisi bisa disuap, politisi berselingkuh dengan iblis, dan perusahaan besar menggali tanah keramat demi keuntungan. Di sinilah horor sebenarnya terjadi—bukan dari makhluk gaib, tapi dari manusia sendiri. Trese memperlihatkan bahwa yang paling menakutkan bukanlah roh jahat, melainkan bagaimana manusia mengeksploitasi yang tidak terlihat demi ambisi.

Nuansa Gelap yang Menggugah Identitas
Secara visual dan tematik, Trese mengusung gaya gothic-urban yang jarang ditemukan di produksi Asia Tenggara. Musik gelap, latar kota hujan, dan ilustrasi noir menciptakan atmosfer yang tidak hanya menegangkan, tetapi juga penuh simbolisme budaya dan sosial.
Lebih dari sekadar horor, Trese adalah pernyataan: mitologi lokal masih relevan, dan bisa menjadi medium untuk bicara tentang identitas, trauma sejarah, hingga perjuangan kelas.
Penutup: Ketika Kegelapan Menyimpan Kebenaran
Trese bukan sekadar hiburan horor. Ia adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa di balik modernitas, masih ada roh-roh yang terlupakan—dan mereka belum selesai bicara. Ketika manusia terlalu sibuk dengan gawai dan ambisi, ada dunia lain yang terabaikan, tapi tetap ada, menunggu untuk diakui kembali.